Sabtu, 16 Februari 2013

My Hero [Flash Fiction - SarahIel]


“Kau tau kau selalu bisa pulang ke pelukanku.” 

*

Hujan malam itu menemani kesendiriannya. Ia terisak. Menangis keras seperti hujan di luar. Tidak ada yang dapat mendengarnya. Bukankah ia selalu sendiri? Lantas apa yang bisa ia harapkan? Ini bukan pertama kalinya. Tapi, mengapa masih saja sakit saat merakan semua ini?

*

I couldn’t tell you why she felt this way. She felt it everyday.

*

            Gadis berparas cantik itu mengambil kunci mobil keluaran terbaru. Dan melajukannya dengan kecepatan penuh. Bajunya berantakan, matanya sembak, dan wajahnya tidak karuan. Tetapi, itu semua tidak dapat menutupi kecantikannya.

            Setelah beberapa lama, ia akhirnya sampai di tempat yang selalu ditujunya saat seperti ini. Satu-satunya tempat yang bisa membuatnya lupa kalau ia hanya sendiri. Ia masuk ke dalam ruangan yang ramai itu. Membaurkan diri. Bergerak lincah diantara banyaknya orang. Ia tertawa. Tetapi, juga menangis.

            Apa yang ia coba lakukan? Bukankan walaupun ia begini tetap tidak ada seorang pun yang akan peduli? Jadi tidak apa kan?

            Matanya tiba-tiba melihat seorang lelaki berparas hitam manis sedang duduk di bar. Tanpa melakukan apa-apa. Hanya melihat semua yang ada di sekitarnya. Mereka bertatapan. Kemuadian si lelaki tersenyum, membuat gadis itu juga tersenyum. Tapi, ia juga menangis.

            Baru kali ini. Baru kali ini ada orang yang tersenyum tulus kepadanya. Bukan senyuman menggoda. Bukan senyuman licik. Tapi, senyuman yang membuatnya tenang. Senyuman ramah yang entah kenapa membuatnya sangat bahagia.

            Gadis itu menghampiri si lelaki. Ia setengah berlari. Dan langsung memeluknya. Ia tak mengenal pria itu. Tapi kenapa rasanya sangat nyaman? Pria itu kaget. Tapi ia tersenyum dan membalas pelukan gadis yang tidak dikenalnya itu.

            “I want to go home. But nobody’s home. It where I lie. Broken inside. No place to go. No place to go. To dry my eyes. Broken inside.” Gadis itu bersenandung lirih.

            Pria itu mengerti. Gadis itu ingin ia membawanya bersamanya. Karena gadis itu begitu kesepian. Tanpa menunggu lama, ia menuntun gadis itu menuju ke mobilnya. Membukakan pintu, membiarkan ia masuk, dan memasangkan sabuk pengamannya.

            “Siapa namamu?” tanya pria itu. Gadis itu menghadap ke arahnya, tersenyum. Tersenyum manis sekali.

            “Sarah. Sarah Pearl. Kamu?”

            “Gabriel. Gabriel Stevent Damanik.” Gabriel menyodorkan tangannya dan dengan semangat Sarah membalasnya.

            “Makasih, Gabriel.” Lirih Sarah. Air matanya mengalir begitu saja.

            “Buat?”

            “Karena kamu mau membawaku bersamamu.” Jawabnya. Gabriel tersenyum. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Sarah.

            “Be strong. Be strong now. Too many too many problems. You know where you belong. Where you belong.” Gabriel bersenandung di telinga Sarah.

            Sarah tersenyum kecil.

            “Where?

            “You know that since now, your home is me. Understand? So, go home when you feel lonely.” Kata Gabriel.

            “Bukankah kita baru saja bertemu? Kenapa kau begitu mempercayaiku?” tanya Sarah.

            “Karena aku bisa merasakan kalau kau akan menjadi milikku untuk selamanya kelak.” Ujar Gabriel lembut.

            “I love you at the first sigh.” ucap Sarah sambil memeluk Gabriel erat. Seolah tak akan melepaskan satu-satunya orang yang berharga di hidupnya.

            “Me too.” Gabriel mengecup puncak kepala dengan lembut.

            Akhirnya Gabriel menjalankan mobilnya pergi dari tempat itu. Ke tempat yang hanya akan ada mereka berdua. Tanpa masalah yang membebani Sarah.

            Ah, kalian bertanya bagaimana orang tua Sarah? Bukankan orang tuanya tidak pernah peduli padanya? Lantas mengapa Sarah harus peduli?

*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar