“Kau tau kau selalu bisa pulang ke
pelukanku.”
*
Hujan malam itu menemani kesendiriannya. Ia terisak.
Menangis keras seperti hujan di luar. Tidak ada yang dapat mendengarnya.
Bukankah ia selalu sendiri? Lantas apa yang bisa ia harapkan? Ini bukan pertama
kalinya. Tapi, mengapa masih saja sakit saat merakan semua ini?
*
I couldn’t tell you why she felt
this way. She felt it everyday.
*
Gadis berparas cantik itu mengambil
kunci mobil keluaran terbaru. Dan melajukannya dengan kecepatan penuh. Bajunya berantakan,
matanya sembak, dan wajahnya tidak karuan. Tetapi, itu semua tidak dapat
menutupi kecantikannya.
Setelah beberapa lama, ia akhirnya
sampai di tempat yang selalu ditujunya saat seperti ini. Satu-satunya tempat
yang bisa membuatnya lupa kalau ia hanya sendiri. Ia masuk ke dalam ruangan
yang ramai itu. Membaurkan diri. Bergerak lincah diantara banyaknya orang. Ia tertawa.
Tetapi, juga menangis.
Apa yang ia coba lakukan? Bukankan walaupun
ia begini tetap tidak ada seorang pun yang akan peduli? Jadi tidak apa kan?
Matanya tiba-tiba melihat seorang
lelaki berparas hitam manis sedang duduk di bar. Tanpa melakukan apa-apa. Hanya
melihat semua yang ada di sekitarnya. Mereka bertatapan. Kemuadian si lelaki
tersenyum, membuat gadis itu juga tersenyum. Tapi, ia juga menangis.
Baru kali ini. Baru kali ini ada
orang yang tersenyum tulus kepadanya. Bukan senyuman menggoda. Bukan senyuman
licik. Tapi, senyuman yang membuatnya tenang. Senyuman ramah yang entah kenapa
membuatnya sangat bahagia.
Gadis itu menghampiri si lelaki. Ia
setengah berlari. Dan langsung memeluknya. Ia tak mengenal pria itu. Tapi kenapa
rasanya sangat nyaman? Pria itu kaget. Tapi ia tersenyum dan membalas pelukan
gadis yang tidak dikenalnya itu.
“I
want to go home. But nobody’s home. It where I lie. Broken inside. No place to
go. No place to go. To dry my eyes. Broken inside.” Gadis itu bersenandung
lirih.
Pria itu mengerti. Gadis itu ingin
ia membawanya bersamanya. Karena gadis itu begitu kesepian. Tanpa menunggu
lama, ia menuntun gadis itu menuju ke mobilnya. Membukakan pintu, membiarkan ia
masuk, dan memasangkan sabuk pengamannya.
“Siapa namamu?” tanya pria itu. Gadis
itu menghadap ke arahnya, tersenyum. Tersenyum manis sekali.
“Sarah. Sarah Pearl. Kamu?”
“Gabriel. Gabriel Stevent Damanik.”
Gabriel menyodorkan tangannya dan dengan semangat Sarah membalasnya.
“Makasih, Gabriel.” Lirih Sarah. Air
matanya mengalir begitu saja.
“Buat?”
“Karena kamu mau membawaku
bersamamu.” Jawabnya. Gabriel tersenyum. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga
Sarah.
“Be
strong. Be strong now. Too many too many problems. You know where you belong. Where
you belong.” Gabriel bersenandung di telinga Sarah.
Sarah tersenyum kecil.
“Where?”
“You
know that since now, your home is me. Understand? So, go home when you feel
lonely.” Kata Gabriel.
“Bukankah kita baru saja bertemu? Kenapa
kau begitu mempercayaiku?” tanya Sarah.
“Karena aku bisa merasakan kalau kau
akan menjadi milikku untuk selamanya kelak.” Ujar Gabriel lembut.
“I
love you at the first sigh.” ucap Sarah sambil memeluk Gabriel erat. Seolah
tak akan melepaskan satu-satunya orang yang berharga di hidupnya.
“Me
too.” Gabriel mengecup puncak kepala dengan lembut.
Akhirnya Gabriel menjalankan
mobilnya pergi dari tempat itu. Ke tempat yang hanya akan ada mereka berdua. Tanpa
masalah yang membebani Sarah.
Ah, kalian bertanya bagaimana orang
tua Sarah? Bukankan orang tuanya tidak pernah peduli padanya? Lantas mengapa
Sarah harus peduli?
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar