Sabtu, 17 November 2012

The Magnum :3 Fashion atau Gaya [Part 3 - PrisIel]



The Magnum :3 Fashion atau Gaya

Hari ini masih hari minggu. Memang sudah siang, tapi tak menyurutkan minat gadis ini untuk shopping sepuasnya. Disinilah dia sekarang, di pasar yang menjual berbagai macam pakaian batik. Pasar Klewer. Ya, itulah nama pasar ini, bukan nama gadis itu. Pasar Klewer memang selalu ramai dikunjungi, terutama hari minggu seperti ini.

“Ya ampun, gue rela desak-desakkan kayak gini, yang penting dapet baju bagus ! O, iya ! Hampir aja lupa beliin baju buat Ify, Sivia, sama Agni !” serunya. Ya, kalian juga pasti sudah bisa menebak siapa gadis ini. Siapa lagi kalau bukan Prissy si Shoppaholic.

Prissy bolak-balik kesana-kemari untuk mencari baju yang ‘pas’ dengan fashionnya. Ya, fashionlah yang terpenting buatnya. Prissy memakai blus merah dan rok sedikit di atas lutut, juga high heels merah yang menurut orang-orang solo tinggi.

“Buk, yang ini harganya berapa ?” tanya Prissy pada seorang pedagang.

“50.000, mbak.” Kata bu pedagang. Kita panggil Bu Klewer.

“30.000 deh, bukk !” tawar Prissy. Ya, Prissy memang pandai menawar.

“Nggak bisa, mbak . 45.000 udah pas, nggak bisa turun lagi . Nanti saya nggak dapat batik dong, mbak .” kata Bu Klewer.

“40.000, saya ambil 10 .” ujar Prissy. Ibu itu berpikir sejenak.

“Yaudah deh, mbak . Nggak pa-pa .” kata Bu Painem. Prissy pun memberikan 4 lembar uang berwarna merah.

“Gila ! Perasaan tadi masih dikit deh. Kenapa tiba-tiba jadi banyak gini, ya ?” pikir Prissy. Prissy tak menyadari kalau ia sudah belanja banyak sekali.Akhirnya, Prissy pun membawa belanjaannya itu sampai kewalahan.

“Boleh gue bantu ?” tawar seseorang. Prissy melihat orang itu, seorang cowok. Hitam manis. Senyumnya.

“Boleh boleh . Makasih, ya.” Kata Prissy. Cowok itu mengambil alih belanjaan Prissy. Mungkin ia bertanya-tanya beli-apa-aja-sampai-banyak-gini?

“Shoppaholic atau emang model ?” tanyanya sambil berjalan keluar diikuti Prissy disampingnya.

“Dua-duanya . Kok bisa nebak gitu ? peramal, ya ?”

“Hahaha .. Nggak lah . Masak tampang cakep kayak gini peramal . Gue juga model kali .”

“Yang bener ? Demi apa ?”

“Iya, emang kenapa ? Ada yang salah ?”

“Kok fashionnya kayak gini ?” Prissy melirik cowok itu dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Cowok itu hanya memakai kaos oblong dan celana pendek yang dilengkapi dengan sandal jepit.

“Yeee .. Suka-suka gue dong ! Menurut gue ni, ya .. Fashion itu mah nggak terlalu penting . Yang paling penting itu gayanya . Kalau fashionnya udah bagus, tapi gayanya jelek, percuma dong !”

“Tapi, kalo gayanya bagus, tapi fashionnya kayak gembel kan percuma .”

“Oh .. Jadi loe bilang gue gembel nih ceritanya ?”

“Eh .. eh .. bukan gitu maksud gue. Ya kan lebih baik dua-duanya ada gitu .”

“Iya . iya . Nama loe siapa ?”

“Prissy. loe ?”

“Gue Gabriel . Panggil aja Iel .” kata cowok yang ternyata bernama Iel itu. Mereka kembali berbincang-bincang, sampai tiba-tiba ..

BRUUUK !

“Aww . .” rintih Prissy karena terjatuh. Iel menaruh belanjaan Prissy, lalu memegang pergelangan kaki Prissy.

“Aww .. Sakit Iel !”

“Loe juga, sih ! Masak ke pasar pakai high heels ? Gapapa kok . Cuma kesleo doang.” Ujar Iel.

“Kan gue nggak tau kalau licin gini . Tapi, gue nggak bisa jalan, Yel !”

Iel berdiri lagi, tapi membelakangi Prissy. Lalu ia berjongkok. Prissy tak mengerti dan hanya menaikkan sebelah alisnya. Iel tahu ketidak tahuan Prissy.

“Nggak kuat jalan, kan ?” tanya Iel. Prissy mengangguk.

“Ayo gue gendong !” ujar Iel.

“Lah, gue kan berat. Loe juga masih bawa belanjaan gue !” tolak Prissy. Iel hanya tersenyum manis. Maniiiissss banget.

“Udah nggak pa-pa . Daripada gue masuk penjara gara-gara nelantarin loe . hahah ..” Prissy pun tersenyum dan naik ke punggung Iel.

Iel pun menggendong Prissy keluar dari Pasar Klewer. Nampaknya badan Prissy berat, apalagi di tambah dengan belanjaan Prissy yang bejibun. Orang-orang di sekitar Pasar Klewer mamandang mereka dengan tatapan ingin tahu. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menduga bahwa Iel dan Prissy adalah sepasang kekasih.

“Berat, ya ?” tanya Prissy.

“Berat sih. Heheh . Loe udah makan belum ?”

“Belum .” Prissy menggeleng.

“Makan dulu, ya ?”

“Iya.”

Mereka berdua berjalan menuju sebuah kedai makanan. Tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan merekan. Mereka tetap cuek. Iel dan Prissy mengobrol banyak saat perjalanan mereka menuju kedai.

Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampai dan Iel pun menurunkan Prissy. Prissy duduk di kursi. Iel memanggil mbak-mbak pelayan untuk memesan makanan.

“Loe mau pesen apa, Pris ?” tanya Iel.

“Nasi goreng sama es teh aja.” Jawab Prissy.

“Yaudah, mbak. Nasi goreng sama es tehnya 2, ya !” kata Iel pada mbak pelayan. mbak pelayan langsung pergi untuk menyiapkan pesanan Prissy dan Iel.

“Masih sakit ?” Tanya Iel.

“Masih dikit, sih . Tapi, udah berkurang kok dari yang tadi .” jawab Prissy.

“Syukur deh ..”

“Makasih ya, Yel !” ujar Prissy.

“Ur well, cantik J” kata Iel. Prissy tersipu di panggil ‘cantik’.

“Panas ya, Pris? Kok muka loe merah gitu?” goda Iel.

“Apaan sih, Yel? Nggak lucu deh.” Prissy tambah blushing.

“Hahahah .. Tambah merah tuh!“

“Ahh .. Iel mah gitu.“ kata Prissy pura-pura ngambek.

“Hahahah .. Si Cantik marah nih .” goda Iel lagi.

“Ah bodo ! Kaki gue masih sakit !” seru Prissy.

“Salah loe sendiri, kan ? Fashion nggak liat tempat . Emang gimanapun fashionnya, kalo tampang mendukung sama aja. Kayak gue nih .. Hahah . .” narsis Iel.

“Yeee .. Narsis . Gue mah mau nggaya gimana aja juga tetep cantik !”

“Yaudah .. Gaya orang gila sono. Hahahah.” ledek Iel.

“Iiihh .. Nggak gitu juga kali.“

“Hahahah .. Piss lope, Pris.”

Mbak pelayan pun datang menghentikan perbincangan mereka dengan membawa 2 piring nasi goreng dan 2 gelas es. Mereka segera memakannya dan melanjutkan mengobrol.

“Rumah loe dimana ?” tanya Iel.

“Di komplek oreo vanilla.” Jawab Prissy sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.

“Wahh .. Deket dong ! Rumah gue di komplek oreo strawberry. Pulang gue anter, ya ?” tawar Iel.

“Nggak ngrepotin, nih ?”

“Nggak kok . Kalo ngrepotin, kenapa gue nawarin loe ?”

“Hahah .. Iya juga, ya ? Boleh deh kalo gitu .”

“Loe udah bisa jalan, kan ?” tanya Iel.

“Udah deh, walaupun masih agak pincang .”

“Yaudah, gue bayar dulu makanannya.” Kata Iel.

“Hahah .. Makan gratis.”

Iel pun menuju ke kasir untuk membayar makanannya. Ia kembali menghampiri Prissy dan membawa belanjaannya.

“Yaudah, yukk !” ajak Iel. Prissy mengikuti Iel. Ia berjalan dengan agak pincang.

***

Iel dan Prissy sudah berada di X-over milik. barang-barang bawaan Prissy sudah berada di bagasi semua. Hari sudah semakin sore. Dalam hangatnya kebersamaan itu, mereka banyak mengobrol mengenal satu sama lain. Ya, nyambung bukan ? pembicaraan antara model ?

“Shill, udah pernah baca bukunya kak Indi yang ‘Karena Cinta itu Sempurna’ ?” tanya Iel.

“Udah. Emang kenapa?” tanya Prissy balik.

“Yang paling kamu suka bagian yang mana ?”

“Waktu Kak Indi jadi model, padahal dia mengidap scoliosis. Terus dia bilang ‘Jangan bilang kalau model itu bodoh, karena jadi model itu adalah hal yang sulit.’ Kalo loe ?”

“Waktu Kak Indi jadi designer terus waktu di tanyain, baju bagaimana yang cocok untuk pengidap scoliosis, dia jawab ‘Pakai saja apapun yg kalian mau.”

’Jika kalian bercermin dan melihat diri kalian pantas saat memakai baju tersebut, maka memang begitulah kenyataannya.’” Lanjut Prissy.

“Tau nggak aku paling sedih waktu Mika meninggal . Tegar banget, ya Kak Indi ?” tanya Prissy.

“Iya. Iya. Nggak kebayang deh jadi Kak Indi, padahal udah lama banget pacaran sama Mika, tapi ternyata Mika kena HIV/AIDS .” ujar Iel.

Ya, begitulah . mereka berdua malah membicarakan novel berjudul ‘Karena Cinta Itu Sempurna ..’ yang ceritanya memang dapat menyita perhatian orang-orang yang membaca. Banyak mengajarkan arti penting hidup ini. Perjuangan melawan penyakit scoliosis berat, tapi tak pernah menyerah.

‘Sugar, seberat dan seburuk apapun kejadian yang pernah kamu alami. Kamu harus percaya suatu hari nanti semuanya akan menjadi pengalaman berharga bagimu. Bahkan jika itu sampai membuatmu bersedih dan menangis.’-Mika.

***






The Magnum :3 Berawal dari Kamera [Part 2 - AlVia]



The Magnum :3 Berawal dari Kamera
 

Sivia dari Jakarta ingin sekali ke Tawangmangu. Dia bela-belain transit di Bandara Kopiko, Karanganyar sebelum ke Solo. Dia mencari taxi di dekat bandara. Setelah mendapatkannya, ia memberitahukan sopir untuk menurunkannya di Tawangmangu. Sopir pun menurunkannya sesuai permintaan Via.

“Non, sudah sampai.” Kata pak Sopir. Biayameter (?) menunjukkan angka 75.000.

“Oh, makasih, pak. Ini uangnya.” Kata Via seraya memberikan selembar uang 100.000.

“Tapi, non. Ini kelebihan 25.000.” ujar pak Sopir jujur.

“Udah, bapak ambil saja kembaliannya.”

“Maaf, non. Saya tidak menerima gaji buta.”

‘Masih ada juga orang seperti ini di jaman yang seperti ini juga’ batin Via.

“Anggap saja ini pemberian khusus dari saya.” Ucap Via, berjalan menuju pintu masuk Tawangmangu. Bapak itu berdecak.

“Non itu baik sekali. Ck.”

***

Sivia melangkahkan kakinya untuk memasuki kawasan Tawangmangu. Segar. Itulah yang dirasakan Via. Ia menghirup udara dalam-dalam kemudian mengeluarkannya pelan-pelan lewat mulut.

“Huaahh !! Seger banget ! Nggak kayak di Jakarta !” seru Via. Ia ingin menuju ke Air terjunnya. Tiket masuk telah dibayarnya dan kini, ia mulai menuruni anak tangga yang bejibun banyaknya. Sekali-sekali dia berhenti untuk membidik objek dengan kameranya.

Sudah lebih dari 500 anak tangga yang ia turuni dan akhirnya Via sampai di bawah. Ramai. Satu kata yang tepat untuk menceritakan keadaan disana. Kakinya ingin langsung melangkah ke air terjun, tapi apadaya perut berkata lain. Via akhirnya menyewa tikar dan membeli pop mie.

“Kurus nih gue, kalau masih harus naik tangga lagi kalau mau pulang !” keluh Via, mulai makan. Setelah beberapa lama, akhirnya Via menghabiskan pop mie-nya.

“Kenyang !” seru Via. Ia langsung melihat hasil jepretannya.

“Gila, ya ! Demi apa banyak banget objek yang bisa gue foto ! Nggak salah deh, gue pingin banget kesini !” seru Via. Tiba-tiba ada cowok seumuran dengannya –atau mungkin sedikit lebih tua- menghampirinya.

“Haii .. Boleh gue duduk disini ?” tanyanya. Via tersenyum ramah, walau terhadap orang asing. Yah . . begitulah Sivia.

“Boleh . boleh . Duduk aja !” kata Via. Cowok itu memperhatikan Via yang sedang mengutak-atik kameranya. Via pun risih dilihatin terus.

“Kenapa liatin gue kayak gitu ?” tanya Via.

“Nggak pa-pa kok . Loe fotografer ?” cowok itu tanya balik.

“Iya sih . Tapi, masih amatiran juga . Heheh ..”

“Gue juga fotografer, lho . Mau liat hasil jepretan gue, nggak ?” tawarnya seraya mengeluarkan kameranya.

“Boleh . Boleh !” kata Via antusias. Ia pun melihat-lihat hasil jepretan cowok itu yang bisa dibilang –padahal sudah pasti- keren.

“Eh, gila bagus banget tau !!” seru Via.

“Biasa aja ah . O, iya nama loe siapa ?”

“Gue Sivia . Biasa dipanggil Via . Kalo Loe ?”

“Gue mm .. Alvin.”

“Vin, mau temenin gue liat air terjun nggak ?”

“Boleh .”  Mereka pun beranjak menuju air terjun. Sesekali, Alvin membantu Via berjalan agar tidak jatuh di bebatuan yang licin. Tak berapa lama, mereka sampai.

“Gila ! Bagus banget, Vin !”

“Hahaha . Iya dong !”

“Foto berdua yukk, Vin !” ajak Via.

“Okeoke . Gue cari tukang foto dulu, ya !” Alvin menghampiri bapak-bapakyang membawa kamera.

“Mau foto langsung jadi, mas ?” tanya bapak itu.

“Iya, pak ! Tolong ya, pak !”

“Iya, mas .”  Mereka berdua akhirnya berfoto ria dengan berbagai gaya. Alvin memberikan beberapa lembar kertas biru kepada bapak tukang foto.

Mereka berdua memutuskan untuk naik ke atas. Walaupun harus menaiki anak tangga yang bejibun banyaknya. Mereka tetap semangat. Kadang juga mereka berhenti untuk sekedar minum dan melepas lelah. Tapi, akhirnya Via menyerah juga karena lelah menaiki tangga yang banyak banget itu.

“Huaa .. Gue udah nggak kuat, Vin ! Cuaapeekkk !!” keluh Via.

“Ayolah, Vi . Dikit lagi, kita udah mau nyampe . Liat noh !” seru Alvin sambil menunjuk spanduk bertulisan “Selamat ! Anda telah menaiki dan menuruni 1.250 anak tangga ! Semoga semakin sukses !”

“Gila ! Semakin sukses gimana ? Yang ada makin kurus !” gerutu Via.

“Yaelah, Vi . Itu juga baru anak tangga, gimana kalo ibu tangga ?” kata Alvin.

“Iya juga, ya ? Ah . . Sebodo banget ! Ayo cepet naik !” ajak Via sambil berlari. Nampaknya ia sudah lupa dengan rasa lelahnya.
                                                                                                                           
“Iye Iye !”

Mereka akhirnya samapi di atas. Tanpa ba-bi-bu, mereka langsung membeli air minum.

“Vin, naik kuda yukk !” ajak Via.

“Ayo ayok !”

“Tapi, gue takut naik sendirian .” ujar Via, nyengir.

“Satu kuda buat berdua, gimana ?”

“Boleh juga deh .” Via dan Alvin menghampiri bapak-bapak pembawa kuda. Kita panggil saja Pak Paijo.

“Pak, Kudanya bisa dinaikin berdua, kan ?” tanya Alvin.

“Oh . . Boleh, dek ! Sampai mana ?” tanya pak Paijo.

“Sampai parkiran aja, pak !” Kata Alvin. Pak Paijo mengangguk. Via naik duluan di depan. Kemudian Alvin duduk dibelakang Via sambil memegang kekang kudanya.

“Biar saya naikin sendiri, pak ! Bapak tunggu saja di parkiran.” Kata Alvin.

“Baik, dek.” Pak Paijo pun meninggalkan mereka berdua.

“Loe bisa naik kuda, Vin ?” tanya Via ragu.

“Bisa dong ! Rumah loe dimana, Vi ?”

“Di Solo. Tepatnya di komplek .. Oreo Vanilla, loe ?”

“Deket dong sama rumah gue . Rumah gue di komplek Oreo Es Krim . Loe pulang sama siapa ?”

“Tadi sih gue transit di bandara kopiko terus naik bis kesini. Gue dari Jakarta.”

“Oh .. Gitu . Gue anterin pulang, ya ?”

“Nggak ngrepotin ?”

“Nggak kok . Kan sejalur sama rumah gue.”

“Okedeh . Makasih ya, Vin !”

“Siippp .”

Mereka melalui perjalan berkuda dengan penuh canda tawa, layaknya sahabat yang sudah kenal baik. Padahal mereka baru bertemu. Tapi, baik Sivia atau pun Alvin merasa nyaman satu sama lain. Sesekali, Via mengeluh karena Alvin terlalu kencang mengendarai kuda itu. Setelah melalui perjalan berkuda yang panjang, akhirnya mereka sampai di Parkiran. Tampak Pak Paijo sudah menunggu kuda kesayangannya.

Alvin memberikan selembar uang berwarna hijau (re: dua puluh ribu) dan selemabar uang berwarna coklat (re: lima ribu). Setelah berterima kasih, Pak Paijo pun pergi. Di depan mereka ada sebuah cagiva merah. Sepertinya itu adalah cagiva milik Alvin.

“Motor lo, Vin?” tanya Via. Alvin mengangguk.

“Kereeeen!” Alvin hanya meringis lalu naik ke motornya. Memakai helm dan menyuruh Via naik ke jok motornya. Sivia menurut.

“Pegangan, nanti jatuh, lho!”

“Enggak ah! Kita kan baru kenal. Nanti kamu ngapa-ngapain aku lagi!” elak Via.

“Nggak pa-pa kali! Gue kan anak baik yang nggak bakal macem-macem sama cewek. Mama gue kan ngajarin gue buat hormatin cewek.” Ujar Alvin lembut. Via akhirnya luluh juga dan melingkarkan tangannya di pinggang Alvin. Alvin tersenyum di balik helmnya.

Mereka pun akhirnya beranjak menuju Perumahan Sivia yaitu Oreo Vanilla.

***


Cerbung ini ngedit dari cerbung saya yang lama sebenernya .___.