Jumat, 28 Desember 2012

Simple Love [Cerpen - Cagni]



            Aku nggak tau cinta itu apa.

*         

            Ini hanyalah kisah cinta klasik. Kisah saat seorang sahabat mulai mencintai sahabatnya sendiri. Saat semuanya tidak akan berubah. Ya, persahabatan yang sejati dan tidak akan pernah melangkah lebih maju.

*

            Apakah cinta itu ketika kamu merasa nyaman berada di dekatnya?

*

            Cakka dan Agni tengah bermain basket di lapangan kompleks perumahan mereka. Dengan bersimbah keringat, mereka memainkan bola berwarna oranye itu. Membiarkan teriknya matahari menyengat kulit mereka. Sepasang gitar melihat mereka dari kejauhan. Bahkan gitar mereka sudah bersahabat.
            “Kka, udahan yuk! Capek nih! Panas lagi!” seru Agni pada Cakka yang masih asyik men-dribble bola.
            “Huu, payah kamu, Ag! Masak baru segini aja capek!” ledek Cakka.
            “Yee, aku kan bukan cowok!” kata Agni sembari berjalan ke rerumputan dimana gitar mereka berada.
            “Ag, tungguin dong! Masak gitu aja marah sih!” ujar Cakka, menyusul Agni yang sekarang sudah berbaring di rerumputan yang menghadap ke langit. Cakka ikut merebahkan diri di samping Agni.
            “Ag...” Panggil Cakka. Agni berdehem. Masih memfokuskan diri pada birunya langit dan putihnya awan.
            “Ag, kalau misalnya salah satu dari kita ada yang pacaran, kita bakalan tetep sahabatan, kan?” tanya Cakka. Agni menoleh ke arah Cakka, menaikkan alis, kemudian menyunggingkan senyum dan menganggukkan kepalanya.
            “Iya! Kita bakalan tetep jadi sahabat. Apapun yang terjadi. Sekarang dan selamanya,” Agni berujar mantap.

*

            Apakah cinta itu ketika kamu merasakan getaran-getaran halus saat melihat wajahnya, senyumnya, dan tingkahnya? Semua tentangnya?

*

            Cakka berhenti di depan rumah Agni dan membunyikan bel sepedanya. Rumah Cakka dan Agni memang hanya berjarak beberapa meter, jadi mereka selalu berangkat sekolah bersama sejak kecil. Ya, mereka sudah sangat lama bersahabat.
            “Agni! Cepetan! Lama banget, sih!” teriak Cakka. Mama Agni hanya bisa memaklumi kelakuan sahabat dari anaknya tersebut. Beberapa menit kemudian, Agni keluar sambil menggigit roti tawarnya dan menaruh tas di punggungnya.
            “Maaf, maaf! Tadi aku bangun kesiangan!” kata Agni sambil nyengir sambil bergegas naik ke boncengan sepeda Cakka. Cakka mulai mengayuh sepedanya.
            “Makanya, kalau malam itu jangan suka begadang! Kalau ada tugas kerjain habis pulang sekolah, biar malemnya bisa istirahat. Jangan Cuma main Pe-eS sama Ray. Kalau mau nonton film itu waktu akhir pekan aja!” nasehat Cakka.
            “Bla bla bla, cerewet banget sih kamu, Kka! Udah kayak mama aja deh!” ledek Agni.
            “Yeee, biarin. Ini kan demi kebaikan kamu juga. Kalau kamu nggak di nasehatin, kamu nggak bakalan berubah dan....”
            “Kamu bakalan stuck di situ aja,” Lanjut Agni. “Kata-kata kamu itu nggak ada yang lain ya, Kka?”
            “Perhatian banget sih kamu sama aku. Hahaha,” Agni mencibir.
            Diam-diam, Agni suka saat Cakka mengomelinya. Saat Cakka tertawa untuknya. Saat Cakka tersenyum untuknya. Saat hatinya berdesir lembut melihat semua tingkah Cakka.

*

            Apakah cinta itu ketika kamu tidak dapat menahan semua perasaan yang datang itu?

*

            “Kka! Aku mau ngomong sama kamu. Penting!” kata Agni kepada Cakka lewat telepon.
            “Ada apa sih, Ag? Kayaknya penting banget,”
            “Aku tunggu di lapangan kompleks sekarang,” Agni memutuskan sambungan teleponnya.
            Tidak peduli Cakka sedang apa. Cakka harus datang sekarang juga. Agni ingin mengutarakan semuanya. Perasaan yang mengusik hatinya, mengganggu tidurnya, dan membuatnya senang berkhayal.
            Ia tidak peduli bagaimana perasaan Cakka padanya. Ia hanya ingin mengutarakannya. Ia tahu ini semua akan berdampak pada hubungan persahabatan mereka, tapi ia bertekad tidak akan berubah jikalau Cakka memang tidak menyukainya. Walaupun mungkin Cakka akan menjauhinya. Ia akan tetap menyayangi Cakka.

*

            Apakah cinta itu ketika kamu tahu dia tidak mencintaimu, tapi kamu diam-diam masih mengharapkannya?

*

            Cakka datang 10 menit kemudian dengan sepeda kesayangannya. Agni tersenyum padanya. Cakka menghampirinya dengan semangat.
            “Agni! Agni! Guess what?” seru Cakka
            What?”
            “Tadi aku nembak Shilla. Dan kamu tahu? Dia nerima aku, Ag! Shilla sekarang jadi pacar aku!” seru Cakka.
            Jleb. Agni terdiam. Oh, Shilla. Gadis itu memang sudah lama menarik perhatian Cakka. Agni tahu itu. Cakka sering bercerita tentang Shilla kepadanya. Dan setiap ada sesuatu yang menyangkut Shilla dia pasti bersemangat. Kenapa aku tidak menyadari kalau Cakka punya perasaan lebih untuk Shilla?
            “Ag? Hello, Agni!” Cakka melambaikan tangan di depang wajah Agni. Membuyarkan khayalan gadis kecil itu.
            “Eh, iya! Selamat, ya! Aku ikut seneng. Makan-makan dong!” Agni memaksakan senyumnya.
            “Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa? Katanya penting?”
            Apakah aku masih pantas untuk mengutarakan perasaan ini. Ataukah aku harus memendamnya dan membiarkan Cakka bahagia?Ya, mungkin aku harus membiarkan Cakka bahagia. Persetan dengan perasaanku ini, pikir Agni.
            “Oh itu, emm... Aku besok ulangan matematika. Ajarin dong!”
            “Yaelah, Ag. Dikirain apa gitu. Tau gitu aku tadi mesra-mesraan dulu sama Shilla,” Kata Cakka.
            “Hehe, maaf, maaf! Aku nggak tau kalau kamu lagi berduaan sama Shilla,” Agni mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Ia harus tetap menjadi Agni seperti biasanya.

*

            Apakah cinta itu ketika kamu merasa bahagia saat melihat dia  bahagia?

*

            Semenjak Cakka berpacaran dengan Shilla, Cakka tampak lebih bahagia dan bersemangat. Dimana ada Shilla, disana ada Cakka, begitu pun sebaliknya. Cakka dan Shilla bahkan sudah mendapat julukan Best Couple di sekolahnya. Kemana-mana berdua. Mesraaaaa banget!
            Agni memang cemburu, tapi kalau karena itu Cakka bisa lebih bahagia, Agni juga akan berusaha untuk bahagia karena kebahagiaan Cakka. Walaupun karena itu juga, Agni jadi jarang bermain dengan Cakka.
            “Ag, kok kamu jadi jarang main sama Cakka sih semenjak Cakka pacaran sama Shilla?” tanya Ify –teman sebangku Agni- pada suatu hari.
            “Emangnya aku kalau kemana-mana harus sama Cakka terus gitu? Sahabatku kan nggak cuma Cakka kamu kan juga sahabatku, Fy! Hahaha,” ujar Agni.
            “Enggak, sih. Tapi emangnya kamu nggak cemburu gitu?”
            “Lho? Kenapa harus cemburu? Aku kan sahabatnya, jadi aku harus ndukung Cakka dong! Asalkan Cakka bahagia, aku juga ikut seneng kok,” kata Agni.
            “Iyadeh. Terserah kamu. Nanti pulang sekolah ke Mall yuk!” ajak Ify.
            “Boleh. Kamu yang traktir, ya!” pinta Agni. Ify menjitak kepala Agni.
            “Yee, enak aja!” Agni meringis. Ya, sejauh ini ia masih bisa menjadi Agni yang biasanya.

*

            Apakah cinta itu ketika kamu tidak rela memberi tahukan suatu hal yang akan membuatnya sakit?

*

            Agni dan Ify pergi ke mall langganan mereka. Melirik setiap ada benda yang menarik perhatian mereka dan menyerbu setiap toko yang sedang sale. Udah tak terhitung berapa kali kalimat ‘Ini cocok nggak buat aku?’ diucapkan. Sampai mereka lelah belanja dan memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe.
            “Ag, kamu mau pesen apa?” tanya Ify.
            “Samain kayak kamu aja deh, Fy.” Ify mengangguk, memanggil waither, dan memberi tahu apa yang ingin ia pesan.
            Setelah memesan, Ify menangkap sosok yang tidak asing masuk ke dalam kafe. Wajahnya familiar. Cantik, putih, tinggi, dan dia datang bersama cowok yang tidak dikenalnya. Dan—Oh astaga! Cewek yang familiar itu Shilla! Dan—Oh astaga lagi! Cowok yang sedang bersama Shilla itu tengah merangkul pinggang Shilla dengan posesif.
            “Agni, ada Shilla tuh. Tapi kok nggak sama Cakka ya?” tanya Ify.
            “Masak sih?” Agni melirik ke arah yang ditunjukkan Ify. Dia terbelalak dan berujar ragu-ragu, “Saudaranya kali, Fy.”
            “Masak saudara meluknya sampai posesif gitu, Ag. Pasti dia selingkuhannya Shilla. Tega banget sih! Cakka kurang baik apa coba?” geram Ify. “Kita harus kasih tau Cakka, Ag!”
            “Nggak usah deh, Fy. Kasian Cakka nanti kalau dia tahu Shilla selingkuh. Cakka kan sayang banget sama Shilla.” Ujar Agni polos.
            “Tapi dia bakal lebih sakit kalau nggak dikasih tau sekarang, Ag!”
            “Pokoknya aku nggak bakal ngasih tau Cakka. Dan aku harap kamu juga.”
            “Terserah kamu deh, Ag. Kamu itu... terlalu baik. Tapi, aku bakal ikutan kamu.”
            “Thanks, Fy.”
            Setelah pesanan mereka datang, Agni dan Ify buru-buru menghabiskannya dan pergi dari Mall menuju rumah Agni.
            “Fy, kamu masuk kamarku dulu aja. Aku mau nganterin kue buat tetangga sebelah dulu, disuruh mama.” Kata Agni. Ify mengacungkan jempolnya pertanda iya.
            Sementara Agni pergi, Ify melihat-lihat sekeliling kamar Agni. Kamarnya didominasi warna biru tosca. Barang-barang Agni tertata rapi. Ify jadi membayangkan kamarnya yang berantakan. Hihihi. Ia duduk di depan meja belajar Agni. Ada sebuah buku yang menarik perhatiannya. Buku itu... buku harian Agni?
            Pelan-pelan Ify membuka halaman depan. Ada foto Agni dengan Cakka. Terselip tulisan tangan Agni di bawah foto itu, Best Friend Forever. Ify membuka halaman selanjutnya. Kemudian selanjutnya, dan selanjutnya lagi, sampai selesai. Dan ia akhirnya tahu.
            Jadi karena ini Agni tidak ingin Cakka sedih. Jadi karena ini Agni membiarkan Cakka bersama Shilla. Jadi karena ini Agni selalu tersenyum setiap melihat Cakka bahagia bersama Shilla. Jadi ini semua karena Agni mencintai Cakka. Tapi kenapa? Kenapa Agni begitu munafik sehingga ia merasa akan bahagia jika Cakka bahagia? Ah, Ify tak mengerti semua ini.

*

            Apakah cinta itu ketika kamu merasa hancur berkeping-keping ketika melihat dia sedih?

*

            Agni bermain ke rumah Cakka sore ini. Tapi, kata mamanya, Cakka belum keluar kamar semenjak pulang sekolah. Jadi Agni disuruh untuk langsung menemui Cakka di kamarnya. Agni mengetuk pintu. Tak ada jawaban dari Cakka.
            “Cakka, ini Agni. Bukain dong pintunya.” pinta Agni. Tapi tak ada respon. Akhirnya Agni memutuskan untuk langsung masuk, toh pintunya tidak dikunci.
            Cakka ada disana. Duduk di ranjang sambil menghadap ke jendela dengan tatapan menerawang. Matanya sendu. Tak ada senyuman diwajahnya. Cakka terlihat pucat sekali. Agni mendekati Cakka pelan-pelan.
            “Cakka, kamu kenapa? Kamu sakit?” tanya Agni. Tanpa disangka Cakka berbalik ke arah Agni dan memeluknya erat. Agni bisa merasakan Cakka sesenggukan. Apakah Cakka menangis?
            “Cakka! Kamu kenapa? Kamu kenapa nangis?”
            “Dia khianatin aku, Ag. Dia jalan sama cowok lain di belakang aku. Aku minta penjelasan ke dia. Tapi dia bilang kalau aku bukan siapa-siapanya. Aku sakit, Ag. Apa salah aku sama dia, Ag. Kenapa dia tega banget sama aku? Padahal... padahal aku kan cinta sama dia, Ag. Kenapa dia nggak ngrasain sama kayak aku? Kenapa, Ag?” Cakka menumpahkan semuanya dalam satu helaan nafas.
            ‘Jadi... jadi Cakka udah tahu? Ya Tuhan, kenapa kemari aku nggak mencegah Cakka buat liat Shilla. Cakka sekarang jadi kayak gini. Aku salah. Semuanya salah aku. Maafin aku, Kka.’ Batin Agni.
            “Cakka, jangan nangis gini dong. Mana Cakka yang kuat? Mana Cakka yang tegar? Masak Cuma gara-gara ini doang kamu nangis, Kka. Cengeng ah!” kata Agni.
            “Kamu nggak ngerti, Ag! Aku cinta sama Shilla! Kamu emang nggak pernah ngerti aku! Emang Cuma Shilla yang bisa ngertiin aku!” Bentak Cakka.
            Agni tersentak. Kata-kata Cakka menghujam hatinya. Ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Dia ingin menangis.
            “Maaf. Maafin aku yang nggak pernah bisa ngertiin kamu, Kka. Maaf.”
            “Kamu keluar aja dari kamar aku! Aku mau sendiri!”
            “Tapi, Kka—“
            “KELUAR!”
            Lagi-lagi Agni tersentak. Ia segera keluar dari kamar Cakka dan berlari menuju rumahnya. Masuk ke kamar dan menguncinya. Ia terisak dan akhirnya air matanya keluar juga. Sebelumnya Cakka tak pernah membentak Agni seperti ini. Apakah ia benar-benar tidak bisa mengerti Cakka?

*

            Apakah cinta itu ketika kamu rela berkorban segalanya untuk dia?

*

            Hari ini Agni memaksakan diri untuk masuk sekolah dengan mata yang sembab dan bengkak karena semalaman menangis. Menangisi kebodohannya yang tidak pernah memahami Cakka. Ia akan minta maaf kepada Cakka hari ini.
            Agni melihat Cakka keluar dari rumahnya dengan merunduk. Oh, Cakka terlihat seperti orang depresi. Agni miris melihatnya. Andaikan ia bisa memindahkan semua kepedihan Cakka kepadanya. Ia rela.
            Tanpa melihat kanan kiri, Cakka menyeberang jalan di depan rumahnya. Agni melotot melihat ada sebuah mobil dengan kecepatan di atas rata-rata menuju ke arah Cakka. Ia berlari sekuat tenaga. Mengerahkan semua kekuatannya.  
            “CAKKAAA!! AWAAASS—“
BRUKK!!
            Tubuh Cakka terhempas dengan keras ke tepi jalan. Cakka sadar. Dan ia menyadari ada yang kurang dari dirinya. Harusnya dia mati, tapi kenapa... Oh tidak! Cakka melihat di tengah jalan ada seorang gadis yang berlumuran darah.
            Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis itu adalah orang yang selalu menemaninya sejak kecil. Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis itu adalah orang yang selalu menghiburnya di saat bersedih. Tidak mungkin. Tidak mungkin gadis itu adalah Agni!
            “AGNIIII!” Cakka menghambur menuju Agni. Agni masih sadar dan berusaha meraih Cakka.
            “Cakka...” lirih Agni. Cakka menangis sejadi-jadinya.
            “Agni, jangan bicara dulu. Aku bakalan panggil ambulans.” Pinta Cakka. Agni menggeleng samar.
            “Enggak usah. Aku nggak pa-pa kok. Kamu kenapa nangis? Aku nggak suka liat kamu nangis.” Agni berkata begitu pelan. Cakka mengusap air matanya dengan kasar. Dia menggeleng kuat-kuat.
            “Aku nggak nangis.” Sanggah Cakka. Agni tertawa kecil.
            “Kamu jangan sedih lagi, ya. Agni sayang sama Cakka.” Agni kemudian menutup matanya perlahan dan tak pernah bangun lagi. Cakka terdiam. Ia menunduk dalam. Air matanya mengalir dengan derasnya. Ia genggam tangan Agni yang sudah dingin kuat-kuat.
            “Cakka... juga sayang Agni. Kenapa Agni tinggalin Cakka?” lirih Cakka.

*

            Ya, itu benar. Semua definisi cinta menurut Agni semuanya benar. Dan tahukah Agni kalau ia meninggalkan Cakka dengan berjuta penyesalan?

*

            Pemakaman Agni berlangsung khidmat, walaupun beberapa kali Mama Agni dan Ify pingsan. Semua teman-temannya menangis. Bagaimana mungkin mereka tifak sedih bila harua kehilangan teman sebaik Agni?
            Mungkin Cakkalah yang paling sedih akan kematian Agni. Kemarin sambil menangis-nangis, Ify memberitahu sesuatu yang ia tak pernah duga. Bahwa ternyata Agni... mencintainya. Ia menunduk dalam di depan pusara Agni.
            Apa yang telah dia lakukan. Saat pertemuan terakhirnya dengan Agni, ia malah membentak Agni. Dan dia juga berkata bahwa Agni tak pernah mengertinya. Apa yang dia pikirkan saat itu?
            Cuma Agni saja yang mengertinya. Cuma Agni saja yang mampu menghiburnya. Cuma Agni saja yang selalu ada untuknya. Cuma Agni saja yang mencintai Cakka apa adanya.
            Dan apa yang telah ia lakukan pada Agni? Dia menyakitinya! Bagaimana bisa ia berkata seperti itu hanya karena Shilla! Bagaimana bisa?
            Penyesalan memang selalu datang terakhir. Dan kali ini, ia tidak bisa meminta maaf. Ia hanya bisa berdoa agar Agni tenang disana.

*
           



           
             

           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar