Sabtu, 17 November 2012

The Magnum :3 Berawal dari Kamera [Part 2 - AlVia]



The Magnum :3 Berawal dari Kamera
 

Sivia dari Jakarta ingin sekali ke Tawangmangu. Dia bela-belain transit di Bandara Kopiko, Karanganyar sebelum ke Solo. Dia mencari taxi di dekat bandara. Setelah mendapatkannya, ia memberitahukan sopir untuk menurunkannya di Tawangmangu. Sopir pun menurunkannya sesuai permintaan Via.

“Non, sudah sampai.” Kata pak Sopir. Biayameter (?) menunjukkan angka 75.000.

“Oh, makasih, pak. Ini uangnya.” Kata Via seraya memberikan selembar uang 100.000.

“Tapi, non. Ini kelebihan 25.000.” ujar pak Sopir jujur.

“Udah, bapak ambil saja kembaliannya.”

“Maaf, non. Saya tidak menerima gaji buta.”

‘Masih ada juga orang seperti ini di jaman yang seperti ini juga’ batin Via.

“Anggap saja ini pemberian khusus dari saya.” Ucap Via, berjalan menuju pintu masuk Tawangmangu. Bapak itu berdecak.

“Non itu baik sekali. Ck.”

***

Sivia melangkahkan kakinya untuk memasuki kawasan Tawangmangu. Segar. Itulah yang dirasakan Via. Ia menghirup udara dalam-dalam kemudian mengeluarkannya pelan-pelan lewat mulut.

“Huaahh !! Seger banget ! Nggak kayak di Jakarta !” seru Via. Ia ingin menuju ke Air terjunnya. Tiket masuk telah dibayarnya dan kini, ia mulai menuruni anak tangga yang bejibun banyaknya. Sekali-sekali dia berhenti untuk membidik objek dengan kameranya.

Sudah lebih dari 500 anak tangga yang ia turuni dan akhirnya Via sampai di bawah. Ramai. Satu kata yang tepat untuk menceritakan keadaan disana. Kakinya ingin langsung melangkah ke air terjun, tapi apadaya perut berkata lain. Via akhirnya menyewa tikar dan membeli pop mie.

“Kurus nih gue, kalau masih harus naik tangga lagi kalau mau pulang !” keluh Via, mulai makan. Setelah beberapa lama, akhirnya Via menghabiskan pop mie-nya.

“Kenyang !” seru Via. Ia langsung melihat hasil jepretannya.

“Gila, ya ! Demi apa banyak banget objek yang bisa gue foto ! Nggak salah deh, gue pingin banget kesini !” seru Via. Tiba-tiba ada cowok seumuran dengannya –atau mungkin sedikit lebih tua- menghampirinya.

“Haii .. Boleh gue duduk disini ?” tanyanya. Via tersenyum ramah, walau terhadap orang asing. Yah . . begitulah Sivia.

“Boleh . boleh . Duduk aja !” kata Via. Cowok itu memperhatikan Via yang sedang mengutak-atik kameranya. Via pun risih dilihatin terus.

“Kenapa liatin gue kayak gitu ?” tanya Via.

“Nggak pa-pa kok . Loe fotografer ?” cowok itu tanya balik.

“Iya sih . Tapi, masih amatiran juga . Heheh ..”

“Gue juga fotografer, lho . Mau liat hasil jepretan gue, nggak ?” tawarnya seraya mengeluarkan kameranya.

“Boleh . Boleh !” kata Via antusias. Ia pun melihat-lihat hasil jepretan cowok itu yang bisa dibilang –padahal sudah pasti- keren.

“Eh, gila bagus banget tau !!” seru Via.

“Biasa aja ah . O, iya nama loe siapa ?”

“Gue Sivia . Biasa dipanggil Via . Kalo Loe ?”

“Gue mm .. Alvin.”

“Vin, mau temenin gue liat air terjun nggak ?”

“Boleh .”  Mereka pun beranjak menuju air terjun. Sesekali, Alvin membantu Via berjalan agar tidak jatuh di bebatuan yang licin. Tak berapa lama, mereka sampai.

“Gila ! Bagus banget, Vin !”

“Hahaha . Iya dong !”

“Foto berdua yukk, Vin !” ajak Via.

“Okeoke . Gue cari tukang foto dulu, ya !” Alvin menghampiri bapak-bapakyang membawa kamera.

“Mau foto langsung jadi, mas ?” tanya bapak itu.

“Iya, pak ! Tolong ya, pak !”

“Iya, mas .”  Mereka berdua akhirnya berfoto ria dengan berbagai gaya. Alvin memberikan beberapa lembar kertas biru kepada bapak tukang foto.

Mereka berdua memutuskan untuk naik ke atas. Walaupun harus menaiki anak tangga yang bejibun banyaknya. Mereka tetap semangat. Kadang juga mereka berhenti untuk sekedar minum dan melepas lelah. Tapi, akhirnya Via menyerah juga karena lelah menaiki tangga yang banyak banget itu.

“Huaa .. Gue udah nggak kuat, Vin ! Cuaapeekkk !!” keluh Via.

“Ayolah, Vi . Dikit lagi, kita udah mau nyampe . Liat noh !” seru Alvin sambil menunjuk spanduk bertulisan “Selamat ! Anda telah menaiki dan menuruni 1.250 anak tangga ! Semoga semakin sukses !”

“Gila ! Semakin sukses gimana ? Yang ada makin kurus !” gerutu Via.

“Yaelah, Vi . Itu juga baru anak tangga, gimana kalo ibu tangga ?” kata Alvin.

“Iya juga, ya ? Ah . . Sebodo banget ! Ayo cepet naik !” ajak Via sambil berlari. Nampaknya ia sudah lupa dengan rasa lelahnya.
                                                                                                                           
“Iye Iye !”

Mereka akhirnya samapi di atas. Tanpa ba-bi-bu, mereka langsung membeli air minum.

“Vin, naik kuda yukk !” ajak Via.

“Ayo ayok !”

“Tapi, gue takut naik sendirian .” ujar Via, nyengir.

“Satu kuda buat berdua, gimana ?”

“Boleh juga deh .” Via dan Alvin menghampiri bapak-bapak pembawa kuda. Kita panggil saja Pak Paijo.

“Pak, Kudanya bisa dinaikin berdua, kan ?” tanya Alvin.

“Oh . . Boleh, dek ! Sampai mana ?” tanya pak Paijo.

“Sampai parkiran aja, pak !” Kata Alvin. Pak Paijo mengangguk. Via naik duluan di depan. Kemudian Alvin duduk dibelakang Via sambil memegang kekang kudanya.

“Biar saya naikin sendiri, pak ! Bapak tunggu saja di parkiran.” Kata Alvin.

“Baik, dek.” Pak Paijo pun meninggalkan mereka berdua.

“Loe bisa naik kuda, Vin ?” tanya Via ragu.

“Bisa dong ! Rumah loe dimana, Vi ?”

“Di Solo. Tepatnya di komplek .. Oreo Vanilla, loe ?”

“Deket dong sama rumah gue . Rumah gue di komplek Oreo Es Krim . Loe pulang sama siapa ?”

“Tadi sih gue transit di bandara kopiko terus naik bis kesini. Gue dari Jakarta.”

“Oh .. Gitu . Gue anterin pulang, ya ?”

“Nggak ngrepotin ?”

“Nggak kok . Kan sejalur sama rumah gue.”

“Okedeh . Makasih ya, Vin !”

“Siippp .”

Mereka melalui perjalan berkuda dengan penuh canda tawa, layaknya sahabat yang sudah kenal baik. Padahal mereka baru bertemu. Tapi, baik Sivia atau pun Alvin merasa nyaman satu sama lain. Sesekali, Via mengeluh karena Alvin terlalu kencang mengendarai kuda itu. Setelah melalui perjalan berkuda yang panjang, akhirnya mereka sampai di Parkiran. Tampak Pak Paijo sudah menunggu kuda kesayangannya.

Alvin memberikan selembar uang berwarna hijau (re: dua puluh ribu) dan selemabar uang berwarna coklat (re: lima ribu). Setelah berterima kasih, Pak Paijo pun pergi. Di depan mereka ada sebuah cagiva merah. Sepertinya itu adalah cagiva milik Alvin.

“Motor lo, Vin?” tanya Via. Alvin mengangguk.

“Kereeeen!” Alvin hanya meringis lalu naik ke motornya. Memakai helm dan menyuruh Via naik ke jok motornya. Sivia menurut.

“Pegangan, nanti jatuh, lho!”

“Enggak ah! Kita kan baru kenal. Nanti kamu ngapa-ngapain aku lagi!” elak Via.

“Nggak pa-pa kali! Gue kan anak baik yang nggak bakal macem-macem sama cewek. Mama gue kan ngajarin gue buat hormatin cewek.” Ujar Alvin lembut. Via akhirnya luluh juga dan melingkarkan tangannya di pinggang Alvin. Alvin tersenyum di balik helmnya.

Mereka pun akhirnya beranjak menuju Perumahan Sivia yaitu Oreo Vanilla.

***


Cerbung ini ngedit dari cerbung saya yang lama sebenernya .___.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar